A.
SEJARAH
SINGKAT PENDEKATAN BEHAVIORISTIK
Perkembangan pendekatan behavior diawali
pada tahun 1950-an dan awal 1960-an sebagai awal radikal menentang perspektif
psikoanalisis yang dominan. Pendekatan ini dihasilkan berdasarkan hasil
eksperimen para behaviorist yang memberikan sumbangan pada prinsip-prinsip
belajar dalam tingkah laku manusia. Pendekatan ini memiliki perjalanan panjang
mulai dari penelitian laboratorium terhadap binatang hingga eksperimen terhadap
manusia. Secara garis besar, sejarah perkembangan pendekatan behavioral terdiri
dari tiga trend utama, yaitu: trend I: kondisional klasik (classical
conditioning), trend II: kondisioning operan (operant conditioning), dan trend
III: terapi kognitif (kognitif therapy) (Corey, 1986).
B.
PANDANGAN
TENTANG MANUSIA
Pendekatan behavioral didasarkan pada
pandangan ilmiah tentang tingkah laku manusia yang menekankan pada pentingnya
pendekatan sistematik dan terstruktur pada konseling. Pendekatan behavioral berpendapat
bahwa perilaku dapat dimodifikasi dengan mempelajari kondisi dan pengalaman.
Menurut Latipun (2010) mengatakan bahwa pandangan tentang manusia pada
pendekatan behavioristik:
1. Memandang
manusia secara intrinsic bukan sebagai baik atau buruk, tetapi sebagai hasil
dari pengalaman yang memiliki potensi untuk segala jenis perilakunya.
2. Menusia
mampu untuk mengkonsepsikan dan mengendalikan perilakunya.
3. Manusia
mampu mendapatkan perilaku baru.
4. Manusia
dapat mempengaruhi perilaku orang lain sebagaimana perilakunya juga dipengaruhi
orang lain.
C.
KONSEP
DASAR PENDEKATAN BEHAVIORISTIK
Pendekatan behavioral didasari oleh
pandangan ilmiah tetang tigkahlaku
manusia yaitu pendektan ynag sistemati dan terstruktur dala konseling.
Pandangan ini melihat indvidu sebagai produk dari kondisioning sosial, sedikit
sekali melihat potensi manusia sebagai produse lingkungan. (Corey, 1986, p.
175). Pada awalnya pendekatan ini hanya mempercayai hal yang dapat diamati dan
dukur sebagai sesuat yang sah dalam pengukuran keribadian. Kemudian pendekatan
ini dikembagkan lebi lanjut yang mulai menerima fenomena kejiwaan yang abstrak seperti id, ego, dan ilusi
endekatan ini memendang perilaku yag malasua sebagai hasil belajar dari
lingkngan secara keliru.
D.
PERILAKU
BERMASALAH MENURUT PENDEKATAN BEHAVIORISTIK
Menurut Latipun (2010), perilaku yang
bermasalah dalam pandangan behavior
dapat dimaknakan sebagai perilaku atau kebiasaan-kebiasaan negative atau
perilaku tidak tepat, yaitu perilaku yang tidak sesuai dengan yang diharapkan.
Perilaku yang salah penyesuaian
terbentuk melalui proses interaksi dengan lingkungannya. Dan perilaku juga
dikatakan mengalami salah penyesuaian jika tidak selamanya membawa individu
konflik dengan lingkungannya. Perilaku yang perlu dipertahankan atau dibentuk
pada individu adalah perilaku yang bukan sekadar memperoleh kepuasan pada
jangka pendek, tetapi perilaku yang tidak menghadapi kesulitan-kesulitan yang
lebih luas, dan dalam jangka yang lebih panjang.
E.
TEKNIK
FLOODING
Pembanjiran (flooding) merupakan teknik
modifikasi perilaku berdasarkan prinsip teori yang dikemukakan oleh B.F.
Skinner. Pembanjiran (flooding) adalah membanjiri konseli dengan situasi atau
penyebab kecemasan atau tingkah laku tidak dikehendaki, sampai konseli sadar
bahwa yang dicemaskan tidak terjadi. Pembanjiran harus dilakukan hati-hati karena
mungkin akan terjadi reaksi emosi sangat tinggi. Pembanjiran sesuai untuk
menangani kasus fobia. Tujuannya untuk menurunkan tingkat rasa takut yang
ditimbulkan, dengan menggunakan stimulus yang dikondisikan (condition stimulus) yang dimunculkan secara berulang-ulang
sehingga terjadi penurunan, tanpa member penguatan (reinforcement).
F.
CARA-CARA
PENERAPAN FLOODING
Menurut Komalasari (2011) terdapat dua
cara melakukan pembanjiran yang dijadikan alternatif bagi konselor dalam
menerapkan flooding:
1.
Invivo
Konselor mencoba
membawa konseli hadir pada situasi atau stimulus yang menimbulkan rasa takut
dengan segera selama terapi berlangsung, dilakukan selama 1 jam atau lebih
setiap sesinya, disertai pencegahan terhadap perilaku untuk menghindari atau
lari dari situasi tersebut. Pada kasus-kasus dengan tingkat rasa takut yang
sangat tinggi, flooding dapat
dilakukan secara bertahap. Misal takut akan ketinggian, dimulai dengan mengajak
konseli melihat ke jendela dari ruang lantai 1, lantai 2, sampai ke lantai 10.
2. Imajeri
Stimulus yang
menakutkan bisa dihadirkan juga dengan membayangkan, konselor akan membuat
gambaran situasi yang semakin meningkatkan rasa takut dan semakin mencemaskan.
Pengalaman konseli membayangkan tanpa disertai akibat yang dahsyat dapat
menurunkan tingkat rasa takutnya, dan ia akan siap menghadapi situasi
sebenarnya. Tetapi berdasarkan pendapat ahli, proses mengalami langsung lebih
efektif. Teknik ini basa digunakan untuk kasus-kasus fobia, obsesif, psikotik.
Teknik flooding dikembangkan oleh Stampfl
(dalam Komalasari, 2011) dengan nama terapi implosif. Langkah-langkah terapi
implosif adalah:
a. Pencarian
stimulus yang memicu gejala.
b. Menaksir
bagaimana gejala-gejala berkaitan dan bagaimana gejala-gejala membentuk
perilaku konseli.
c. Meminta
konseli membayangkan sejelas-jelasnya apa yang dijabarkan tanpa disertai celaan
atas kepantasan situasi yang dihadapi.
d. Bergerak
semakin dekat kepada ketakutan paling kuat yang dialami konseli, dan meminta
konseli untuk membayangkan apa yang paling ingin dihindarinya.
e. Mengulang
prosedur tersebut sampai kecemasan tidak muncul lagi dalam diri konseli.
G.
PENJENUHAN
Menurut Komalasari (2011), penjenuhan (satiation) adalah varian dari flooding untuk self control. Kontrol diri (self
control) berasumsi bahwa tingkah laku dipengaruhi variabel eksternal.
Kontrol diri adalah bagaimana individu mengontrol variabel eksternal yang
menentukan tingkah laku. Hal ini dilakukan dengan memindahkan atau menghindar (removing/avoiding) dari situasi
berpengaruh buruk. Memperkuat diri (reinforce
oneself) yaitu memberi reinforcement
kepada diri sendiri, terhadap “prestasi” dirinya. Janji nonton kalau prestasi
belajar baik. Self punishment yaitu
menghukum diri sendiri bisa hukuman fisik atau mengurangi hak-haknya seperti
menonton TV atau membeli makanan atau barang yang diinginkannya.
Penjenuhan (satiation) adalah membuat diri jenuh terhadap suatu tingkah laku,
sehingga tidak lagi bersedia melakukannya. Menurunkan atau menghilangkan
tingkah laku yang tidak dinginkan dengan memberikan reinforcement yang semakin banyak dan terus menerus, sehingga
individu merasa puas dan tidak akan melakukan tingkah laku yang tidak
diinginkan lagi.
H.
KASUS
Danny (12 tahun)
merupakan seorang siswa yang mengalami sebuah gangguan emosional. ia mengalami
kecemasan yang tidak terkendali ketika melihat atau berhadapan secara langsung
dengan anjing, misalnya ketika ia ingin menyeberangi tempat yang ada anjingnya,
maka Danny akan merasa cemas yang tidak terkendali, yang ditandai dengan
perubahan fisiologis yang sangat cepat, seperti, detak jatungnya semakin
kencang 2x lipat dan berkeringat.
Gangguan
kecemasan yang ia alami merupakan proses pembelajaran, hal ini terjadi ketika
ia masih kecil kira-kira berumur 18 bulan, saat itu ia sedang berada di dalam
kereta roda (untuk anak-anak) kemudian secara tiba-tiba seekor anjing melompat
kearahnya, meskipun anjing tersebut tidak menggigit, akan tetapi hal tersebut
membuat Danny sangat takut. Semenjak dari peristiwa tersebut Danny mulai
mempelajari sebuah kecemasan ketika menghadapi sebuah stimulus tertentu, yaitu
anjing.
DAFTAR
PUSTAKA
Komalasari,
Gantina. 2011. Teori dan Teknik Konseling. Jakarta: PT.
INDEKS
psikologi.or.id/mycontents/uploads/2010/10/behaviorisme.pdf
great ya
BalasHapusterima kasih sharingnya. bermanfaat sekali
BalasHapusok min
BalasHapusSiap min, makasih banyak sudah sharesolder uap